1. SUMBER HUKUM-HUKUM YANG DISETUJUI
1) AL-QUR’AN
a) Al Khawashah (Istimewa)
Secara bahasa Al-Qur’an artinya “bacaan”, sedangkan menurut istilah kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui malaikat jibril secara berangsur-angsur. Al-Qur’an diturunkan sebagai pedoman dasar bagi manusia dalam menjalani kehidupan di dunia. Keistimewaan lainnya yaitu sesuai dengan firman Allah yang artinya : Sesungguhnya Kami menurunkan Al-Qur’an itu dan Kami pula yang memeliharanya.
b) Kehujahan
Bukti bahwa Al-Qur’an itu adalah hujah terhadap orang, dan hukum-hukum Al-Qur’an itu merupakan undang-undang yang wajib bagi orang yang mengikutinya. Datangnya dari Allah dan tidak diragukan lagi tentang keabsahannya. Adapun bukti bahwa Al-Qur’an itu diturunkan oleh Allah adalah tidak ada orang yang sanggup mendatangkan ayat yang seperti Al-Qur’an, sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Qashah ayat 49
Katakanlah: "Datangkanlah olehmu sebuah kitab dari sisi Allah yang kitab itu lebih (dapat) memberi petunjuk daripada keduanya (Taurat dan Al Quran) niscaya aku mengikutinya, jika kamu sungguh orang-orang yang benar". (QS.28 : 49)
Ayat lain yang menerangkan tentang ketidaksangggupan manusia membuat ayat yang seperti Al-Qur’an adalah Surat Huud ayat 13
“bahkan mereka mengatakan: "Muhammad telah membuat-buat Al Quran itu", Katakanlah: "(Kalau demikian), Maka datangkanlah sepuluh surat-surat yang dibuat-buat yang menyamainya, dan panggillah orang-orang yang kamu sanggup (memanggilnya) selain Allah, jika kamu memang orang-orang yang benar". (QS. Huud : 13)
Maka dari itu, tidak diragukan lagi bahwa Al-Qur’an benar-benar diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada umat manusia sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan di dunia.
c) Macam-macam Hukumnya
Dalam Al-Qur’an terdapat tiga macam hukum, yaitu :
Hukum I’tiqadiah, yaitu hukum yang bersangkutan dengan apa-apa yang diwajibkan kepada mukallaf tentang i’tiqadnya kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rosul-rosul-Nya dan hari akhir.
Hukum Khulqiah, yaitu huku yang bersangkutan dengan apa yang diwajibkan kepada mukallaf akan meningkatkan moral, budi pekerti, adap sopan santun dan menjauhkan diri dari sikap yang tercela.
Hukum Amaliah, yaitu hukum yang bersangkutan dengan apa yang bersumber dari perkataan, perbuatan, perjanjian dan segala macam tindakan. Hukum amaliah ini dibagi lagi menjadi beberapa bagian yaitu :
Hukum tentang ibadah, yang bertujuan mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.
Hukum tentang mu’amalat, perjanjian, hukuman, kejahatan dll, selain termasuk ibadat juga bertujuan untuk mengatur hubungan mukallaf dengan sesama.
2) AS-SUNNAH
a) Pengertian
Sunnah menurut syar’i adalah segala sesuatu yang bersumber dari Rosul baik yang berupa perkataan (sunah qauliah), perbuatan (sunah fi’liah) dan ketetapan (sunah takririah).
b) Kehujahannya
Bukti bahwa As-sunnah itu adalah hujah terhadap orang-orang mukmin, dan hukum-hukum As-sunnah itu merupakan undang-undang yang wajib bagi orang yang mengikutinya. Datangnya dari Rosul dan tidak diragukan lagi tentang keabsahannya sebagai penjelasan dari isi Al-Qur’an yang mana isi tersebut tidak dapat difahami secara tekstual.
3) IJMA’
a) Definisi
Ijma' menurut bahasa Arab berarti kesepakatan atau sependapat tentang sesuatu hal. Menurut istilah ijma' ialah kesepakatan mujtahid ummat Islam tentang hukum syara' dari peristiwa yang terjadi setelah Rasulullah SAW meninggal dunia.
Sebagai contoh ialah setelah Rasulullah SAW meninggal dunia diperlukan pengangkatan seorang pengganti beliau yang dinamakan khalifah. Maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada permulaannya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar RA itu, namun kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya. Kesepakatan yang seperti ini dapat dikatakan ijma'.
b) Kehujjahan
Kehujjahan ijma' berupa aI-Qur'an, al-Hadits dan akal pikiran :
• Al-Qur'an
Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 59 :
"Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan ulil amri diantara kamu." (QS. An-Nisâ': 59)
Perkataan amri yang terdapat pada ayat di atas berarti hal, keadaan atau urusan yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam urusan dunia ialah raja, kepala negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di atas dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat tentang sesuatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa, maka kesepakatan itu hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin.
Dalam ayat lain dalam Surat Ali Imron ayat 103 :
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah dan janganlah kamu bercerai-berai." (QS. Ali Imran: 103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu, jangan sekali-kali bercerai-berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu ialah berijma' (bersepakat) dan dilarang bercerai-berai, yaitu dengan menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati oleh para mujtahid.
• AI-Hadits
Bila para mujtahid telah melakukan ijma' tentang hukum syara' dari suatu peristiwa atau kejadian, maka ijma' itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah SAW yang artinya :
"umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan." (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)
• Akal pikiran
Setiap ijma' yang dilakukan atas hukum syara', hendaklah dilakukan dan dibina atas asas-asas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad, ia tidak menemukan satu nashpun yang dapat dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan dalil-dalil yang bukan nash, seperti qiyas, istihsan dan sebagainya. Jika semua mujtahid telah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi al-Qur'an dan al-Hadits, karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil ltu.
Jika seorang mujtahid boleh melakukan seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya boleh diamalkan, tentulah hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa lebih utama diamalkan.
c) Macam-macam Ijma’
Sekalipun sukar membuktikan apakah ijma' benar-benar terjadi, namun dalam kitab-kitab fiqh dan ushul fiqh diterangkan macam-macam ijma'. Diterangkan bahwa ijma' itu dapat ditinjau dari beberapa segi dan tiap-tiap segi terdiri atas beberapa macam.
Ditinjau dari segi cara terjadinya, maka ijma' terdiri atas:
1. ljma' bayani, yaitu para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas, baik berupa ucapan atau tulisan. Ijma' bayani disebut juga ijma' shahih, ijma' qauli atau ijma' haqiqi;
2. Ijma' sukuti, yaitu para mujtahid seluruh atau sebahagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi mereka berdiam diri saja atau tidak memberikan reaksi terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan mujtahid lain yang hidup di masanya. Ijma' seperti ini disebut juga ijma' 'itibari.
Ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadi suatu ijma', dapat dibagi kepada:
1. ljma' qath'i, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu adalah qath'i diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain;
2. ljma' dhanni, yaitu hukum yang dihasilkan ijma' itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hukum dari peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain atau dengan hasil ijma' yang dilakukan pada waktu yang lain.
Dalam kitab-kitab fiqh terdapat pula beberapa macam ijma' yang dihubungkan dengan masa terjadi, tempat terjadi atau orang yang melaksanakannya. Ijma'-ijma' itu ialah:
1. Ijma' sahabat, yaitu ijma' yang dilakukan oleh para sahabat Rasulullah SAW;
2. Ijma' khulafaurrasyidin, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali bin Abi Thalib. Tentu saja hal ini hanya dapat dilakukan pada masa ke-empat orang itu hidup, yaitu pada masa Khalifah Abu Bakar. Setelah Abu Bakar meninggal dunia ijma' tersebut tidak dapat dilakukan lagi;
3. Ijma' shaikhan, yaitu ijma' yang dilakukan oleh Abu Bakar dan Umar bin Khattab;
4. Ijma' ahli Madinah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Madinah. Ijma' ahli Madinah merupakan salah satu sumber hukum Islam menurut Madzhab Maliki, tetapi Madzhab Syafi'i tidak mengakuinya sebagai salah satu sumber hukum Islam;
5. Ijma' ulama Kufah, yaitu ijma' yang dilakukan oleh ulama-ulama Kufah. Madzhab Hanafi menjadikan ijma' ulama Kufah sebagai salah satu sumber hukum Islam.
4) QIYAS
a) Definisi
Qiyas secara bahasa : Pengukuran dan Penyamaan. Sedangkan menurut istilah adalah "Menyamakan cabang dengan yang pokok (ashl) di dalam suatu hukum dikarenakan berkumpulnya sebab yang sama antara keduanya."
Qiyas menurut ulama ushul adalah menerangkan sesuatu yang tidak ada nashnya dalam Al Qur’an dan hadits dengan cara membandingkan dengan sesuatu yang ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Mereka juga membuat definisi lain, Qiyas adalah menyamakan sesuatu yang tidak ada nash hukumnya dengan sesuatu yang ada nash hukumnya karena adanya persamaan illat hukum.
Dengan demikian qiyas itu penerapan hukum analogi terhadap hukum sesuatu yang serupa karena prinsip persamaan illat akan melahirkan hukum yang sama pula. Umpamanya hukum meminum khamar, nash hukumnya telah dijelaskan dalam Al Qur’an yaitu hukumnya haram. Sebagaimana firman Allah Swt:
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs. Al Maidah:90)
Haramnya meminum khamr berdasar illat hukumnya adalah memabukan. Maka setiap minuman yang terdapat di dalamnya illat sama dengan khamar dalam hukumnya maka minuman tersebut adalah haram.
a. Kelompok jumhur, mereka menggunakan qiyas sebagai dasar hukum pada hal-hal yang tidak jelas nashnya baik dalam Al Qur’an, hadits, pendapat shahabt maupun ijma ulama.
b. Mazhab Zhahiriyah dan Syiah Imamiyah, mereka sama sekali tidak menggunakan qiyas. Mazhab Zhahiri tidak mengakui adalanya illat nash dan tidak berusaha mengetahui sasaran dan tujuan nash termasuk menyingkap alasan-alasannya guna menetapkan suatu kepastian hukum yang sesuai dengan illat. Sebaliknya, mereka menetapkan hukum hanya dari teks nash semata.
c. Kelompok yang lebih memperluas pemakaian qiyas, yang berusaha berbagai hal karena persamaan illat. Bahkan dalam kondisi dan masalah tertentu, kelompok ini menerapkan qiyas sebagai pentakhsih dari keumuman dalil Al Qur’an dan hadits.
b) Kehujjahan Qiyas
Jumhur ulama kaum muslimin sepakat bahwa qiyas merupakan hujjah syar’i dan termasuk sumber hukum yang keempat dari sumber hukum yang lain. Apabila tidak terdapat hukum dalam suatu masalah baik dengan nash ataupun ijma’ dan yang kemudian ditetapkan hukumnya dengan cara analogi dengan persamaan illat maka berlakulah hukum qiyas dan selanjutnya menjadi hukum syar’i.
Diantara ayat Al Qur’an yang dijadikan dalil dasar hukum qiyas adalah firman Allah:
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (Qs. An Nisa’:59)
Ayat di atas menjadi dasar hukum qiyas, sebab maksud dari ungkapan ‘kembali kepada Allah dan Rasul’ (dalam masalah khilafiyah), tiada lain adalah perintah supaya menyelidiki tanda-tanda kecenderungan, apa yang sesungguhnya yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Hal ini dapat diperoleh dengan mencari illat hukum, yang dinamakan qiyas.
Sementara diantara dalil sunnah mengenai qiyas ini berdasar pada hadits Muadz ibn Jabal, yakni ketetapan hukum yang dilakukan oleh Muadz ketika ditanya oleh Rasulullah Saw, diantaranya ijtihad yang mencakup di dalamnya qiyas, karena qiyas merupakan salah satu macam ijtihad.
Sedangkan dalil yang ketiga mengenai qiyas adalah ijma’. Bahwasanya para shahabat Nabi Saw sering kali mengungkapkan kata ‘qiyas’. Qiyas ini diamalkan tanpa seorang shahabat pun yang mengingkarinya. Di samping itu, perbuatan mereka secara ijma’ menunjukkan bahwa qiyas merupakan hujjah dan waji b diamalkan. Umpamanya, bahwa Abu Bakar ra suatu kali ditanya tentang ‘kalâlah’ kemudian ia berkata: “Saya katakan (pengertian) ‘kalâlah’ dengan pendapat saya, jika (pendapat saya) benar maka dari Allah, jika salah maka dari syetan. Yang dimaksud dengan ‘kalâlah’ adalah tidak memiliki seorang bapak maupun anak”. Pendapat ini disebut dengan qiyas. Karena arti kalâlah sebenarnya pinggiran di jalan, kemudian (dianalogikan) tidak memiliki bapak dan anak.
Dalil yang keempat adalah dalil rasional. Pertama, bahwasanya Allah Swt mensyariatkan hukum tak lain adalah untuk kemaslahatan. Kemaslahatan manusia merupakan tujuan yang dimaksud dalam menciptakan hukum. Kedua, bahwa nash baik Al Qur’an maupun hadits jumlahnya terbatas dan final. Tetapi, permasalahan manusia lainnya tidak terbatas dan tidak pernah selesai. Mustahil jika nash-nash tadi saja yang menjadi sumber hukum syara’. Karenanya qiyas merupakan sumber hukum syara’ yang tetap berjalan dengan munculnya permasalahan-permasalahan yang baru. Yang kemudian qiyas menyingkap hukum syara’ dengan apa yang terjadi yang tentunya sesuai dengan syariat dan maslahah.
2. SUMBER HUKUM-HUKUM YANG TIDAK DISETUJUI
1. ISTIHSAN
a) Definisi Istihsan
Secara bahasa Istihsan adalah menganggap sesuatu itu baik, mengikuti sesuatu yang lebih baik, atau mencari yang lebih baik untuk diakui. Sedangkan menurut istilah ulama ushul fiqih Istihsan ialah berpalingnya seseorang mujtahid dari tuntunan qiyas yang jail kepada tuntunan qiyas yang khafy, atau dari hukum kuli kepada hukum pengecualian dikarenakan ada dalil yang membenarkannya.
b) Macam-Macam Istihsan
Memenangkan qiyas khafi (yang tersembunyi) atas qiyas jali (nyata) karena ada sesuatu dalil.
Pengecualian kasusitis (juz’iyah) dari suatu hukum kuli (umum) dengn adanya suatu dalil.
c) Kehujahan Istihsan
Pada hakikatnya Istihsan bukanlah sumber hukum yang bisa berdiri sendiri, karena dalam penetapan hukum yang berdasarkan Istihsan harus ada faktor-faktor yang memenagkannya sebagai dalil yang dapat membenarkannya atau dengan jalan istislah. Dengan cara demikian jati para mujtahid menjadi tenang.
Orang-orang yang mempergunakan hujjah berupa Istihsan, mereka ini kebanyakan dari Ulama pengikut imam hanafi, maka dalil mereka terhadap kehujahannya ialah bahwasanya beristidlal dengan Istihsan merupakan istidlal dengan dasar qiyas yang nyata, atau ia merupakan pentajrihan suatu qiyas yang kontradiksi dengannya, dengan adanya dalil yang menuntut pentarjihan ini, atau ia merupakan istidlal dengan kemaslahatan mursalah (umum). Semuanya ini merupakan istidlal yang shahih.
d) Kesamaran Orang yang Tidak Menggunakan Hujjah
Imam Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwafaqat berkata:”Barang siapa yang mempergunakan dalil istishan, ia tidaklah kembali pada semata-mata perasaanya dan kemauanya saja, akan tetapi ia kembali kepada apa yang telah ia ketahui daripada tujuan Syar’i secara keseluruhan pada berbaagai contoh hal yang diajukan, sebagaimana beberapa hal yang menurut qiyas, hanya saja hal itu akan membawa kepada hilangnya kemaslahatannya daari satu segi lainya ia bisa mendatangkan kerusakan.”
2. MASLAHAH MURSALAH
a) Pengertian Maslahah Mursalah
Menurut bahasa Mashlahah Mursalaah merupakan yang mutlak. Sedangkan menurut istilah para ulama Ushul Fiqih, Mashlahah Mursalaah ialah Sesuatu kemaslahatan dimana Syari’ tidak mensyari’atkan suatu hukum untuk merealisir kemaslahatan itu, dan tidak ada dalil yang menunjukan eksistensinya atas pengakuanya atau penulakannya.
Mashlahah Mursalaah disebut juga mutlak, karena ia tidak terikat oleh dadil yang mengakuinya atau dalil yang membaatalkanya.misalnya ialah kemaslahatan yang karenanya para sahabat mensyari’atkan pengadaan penjara, pencetakan mata uang, penetapan tanah pertanian di tangan pemiliknya dan memungut pajak terhadap tanah itu di daearah yang mereka taklukan ,atau lainya yang termasuk kemaslahatan yang dituntut oleh keadaan-keadaaan darurat, berbagai kebutuhan, atau berbagai kabaikan, namun belum disysri’atkan hukumnya,dan tidak ada bukti syara’ yang menunjukan terhadap pengakuannya atau pembetalannya.
b) Kehujjahan Maslahah Mursalah
Mashlahah Mursalaah bisa dijadikan hujjah jika ada suatu kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash ijma’ ataupun qiyas. Hal ini terjadi dan akan terus berjalan karena masalah-masalah umat akan selalu baru dan tidak ada habisnya sampai akhirzaman, dan adanya langkah para sahabat, tabi’in, dan para mujtahid dalam menyelesaikan masalah dengan menggunakan pertimbangan Mashlahah mursalah.
c) Syarat-Syarat yang Harus Dipenuhi
o Berupa maslahat yang sebenarnya.
o Merupa maslahah yang bersifat umum.
o Pembentukan hukum bagi mashlaha tersebut tidak bertentangan dengan hukum yang telah ditetapkan ijma’.
d) Alasan Yang Menulak Adanya Maslahah Mursalah
Karena Syari’at telah memelihara segala kemaslahatan manusia dengan nash-nasnya dan dengan petunjuknya berupa qiyas. Syar’i tidaklah membiarkan ummat manusia dengan sia-sia, dan tidak pula membiarkan kemaslahatan apapun tanpa ada penunjuk kepada pentasyri’iannya.
Karena pembentukan hukum atas dasar kemutlakan kemaslahatan berarti membuka pintu untuk hawa nafsu orang yang menurutinya, baik dari kalangan peneguaasa, amir, dan para mufti.
3. ISTISHAB
a) Pengertian Istishab
Menurut bahasa Istishab diartikan al-mushahabah yang bermakna persahabatan atau istimraru al-Suhbati berarti berlangsungnhya persahabatan. Sedangkan menurut istilah Istishab adalah menetapkan hukum atas sesuatu berdasarkan keadaan sebelumnya, sehingga ada dalil yang menunjukan atas perubahan keadaan tersebut. Atau ialah menetapkan hukum yang telah tetap pada masa lalu dan masih tetap pada keadaanya itu, sehingga ada dalil yang menunjukan atas perubahannya.
b) Bentuk-Bentuk Istihsab
• Nafi’, yaitu dalam keadaan kosong tidak terdapat hukum didalamnya.
• Tsubut, yaitu kedaan dimana pernah ada hukum didalamnya.
c) Kehujjahan Istihsab
Dalam masalah penetapan hukum Istishab merupakan akhir dalil Syar’i yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk mengetehui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya.Maka para ahlili Ushul Fiqih berkata: “Sesungguhnya Istishab merupakan akhhir tempat beredaenya fatwa. Ia adalah penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada dalil yang merubahnya.”
Seseorang yang mengetahui terdapat orang seseorang yang hidup pada saat itu, maka ia menetapkan kehidupan dan mendasarkan berbagai tindakanya atas kehidupan ini, sehingga ada dalil yang menunjukan terhadap kematiannya.
d) Kaidah Istihshab
ما يثبت با ليقين لا يزول با لشك
“apa yang ditetapkan oelh sesuatu yang meyakinkan, makan tidak dapat dihilangkan dengan sesuatu yang meregukan.”
الل صل بقاء ما كان على ما كان حتى يثبت ما يغيره
“asal sesuatu itu adalah ketetapan yang telah ada menurut keadaan semula sehingga terdapat ketetapan sesuatu yang mengubah.”
الا صل فى الاشياء الا با حة
“hukum asal segala sesuatu itu adalah boleh.”
الا صل الا نسان البراءة
“yang asal pada manusia itu bebas.”
e) Pembagian Istihshab
Baraah Ashishab, maksudnya adalah pada dasarnya sebelum adanya hukum yang mengubahnya.
Ishtishab Al Sifah, yang merupakan sifat yang menetapkan Hukum Syara’.
4. ADAT SEBAGAI SUMBER HUKUM
a) Pengertian Adat
Dilihat dari segi bahasa, Adat berawal dari bahasa عرف – يعرف - عرفا yang bermakna sesuatu yang telah dikenal oleh banyak orang dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perbuatan, perkataan atau keadaan meninggalkan.
Ia juga disebut: Adat. Sedangkan menurut istilah para ahli syar’i, tidak ada paerbedaan antara Adat dan adat kebiasaan. Maka Adat yang bersifat perbuatan adalah seperti saling pengertian manusia terhadap jual beli, dengan cara saling memberikan tanpa ada shigat lapdziyyah. Sedangkan Adat yang bersifat pemutlakan lafadz “al-Walad” terhadap anak laki-laki, bukan anak perempuan, dan saling pengertian mereka untuk tidak memutlakan lafadz “al-Lahm” terhadadp ikan.
b) Macam-Macam Adat
Dilihat dari baik dan buruknya
• ’Urf yang Shahih dan ’Urf yang Fasid
Dilihat dari sumber timbulnya
• Urf Qauly dan Urf Fi’ly
Dilihata dari lingkup penngunakannya
a) Urf Umum dan Urf Khusus
c) Kedudukan Adat dalam Menetapkan Hukum
Adat merupakan suatu hal yang sangat penting dalam menetapkan hukum disuatu daerah tertentu, karena disetiap wilayah tentunya mempunyai perbedaan kebiasaan yang signifikan, atau perbedaan yang disebabkan karena adanya perubahan zaman. Hal ini bisa dilakukan tentu saja jika Adat tersebut tidak fasid (yang tidak bertentangan dengan Hukum Syara’). Lebih jelasnya disini ada syarat-syarat yang harus juga diperhatikan dalam menentukan hukum berdasarkan Adat.
d) Syarat-Syarat Penetapan Adat Sebagai Hukum
• Adat mengandung maslahat dan dapat diterima akal
• Adat tidak bertentangan dengan Syara’
KESIMPULAN
1. Hukum Islam yang disetujui ada 4 macam yaitu :
a) Al-Qur’an;
b) As Sunnah (Hadits);
c) Ijma’; dan
d) Qiyas
2. Hukum Islam yang tidak disetujui ada 4 yaitu :
a) Istihsan
b) Maslahah Mursalah
c) Istishab
d) Adat Istiadat
DAFTAR PUSTAKA
Abbas, Dr. Ahmad Sudirman, M.A. 2003. Dasar-Dasar Masail Fiqhiyyah. Jakarta: CV. Banyu Kencana.
Khallaf, Abdul Wahhab. 2005. Ilmu Ushul Fiqih. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Ushul Fiqih. Penerjema
Download makalah jadinya disini gratisss boz...
klik iklanya untuk ucapan terima kasih!!! semoga bermanfaat!!!
0 komentar:
Posting Komentar