Adsense Indonesiaadsads

Selasa, 28 September 2010

Agama dan Kebutuhan Jiwa Manusia

A. LATAR BELAKANG MASALAH
Dunia kita adalah dunia perubahan dan pergantian, tak ada sesuatu yang tetap di dalamnya. Segalanya akan senantiasa berubah, memudar dan setelah itu mati. Seperti itukah agama ? Akankah ada kurun tertentu bagi agama, sehingga bila ia telah lewat, usia agamapun akan berakhir ? Ataukah keadaannya tidak seperti itu ? Akan ia tetap lestari di tengah-tengah manusia,

Sehingga jika muncul gerakan yang ingin memeranginya bahkan menghabisinya, gerakan seperti itu pasti tak akan berhasil ? Bahkan agamalah yang selalu hidup, tak terpadamkan, dan tetap berdetak, lalu muncul lagi dan menyatakan kehadirannya dalam berbagai rupa lain, segera setelah itu ?. Adakah manusia sekarang ini yang dengan ilmu pengetahuan dan kemajuannya mampu mengatur dan mengendalikan 'dunia' masih membutuhkan agama ? Kalau jawabnya "Ya", terus apa fungsi dan peran agama dalam era kemajuan dan modernisasi ini ? Akankah posisi dan peran agama dapat digantikan oleh ilmu pengetahuan ? Untuk menjawab pertanyan-pertanyan di atas di butuhkan sebuah telaah kritis dan komperhensif kalau kita tidak ingin agama di jahui oleh manusia terutama orang-orang yang sudah matang secara rasional, logika dan ilmiah sebagai akibat dari indoktrinasi yang keliru. Kekeliruan dalam memberi gambaran dan pengertian agama kepada manusia terutama generasi berikutnya, jelas akan memarginalkan agama itu sendiri dari kehidupan manusia.
B. Rumusan Masalah
Sehubungan dengan latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah di dalam makalah ini adalah :
1. Pengertian Agama ?
2. Kebutuhan Manusia terhadap Agama ?
C. Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui pengertian agama secara detailnya serta sebagaimana besar kebutuhan manusia akan agama yang dipeluknya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. PENGERTIAN AGAMA
Agama adalah salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa sanskerta. Istilah ini terambil dari dua kata yaitu a dan gam. A diartikan kesini, tidak dan Gam diartikan Gaan, go, gehen, berjalan-jalan. jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Sehingga secara istilah Agama bisa disimpulkan sebagai Peraturan-peraturan Tradisional, ajaran-ajaran, dan kumpulan hukum-hukum. Pendeknya, apasaja yang turun temurun dan ditentukan oleh adat Istiadat.
Dalam Masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal juga kata Din dalam bahasa arab, dan Religi dalam Bahasa Eropa. Kata Dîn dalam bahasa Al-Quran, seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata tersebut terdiri dari tiga huruf hija’iyah yaitu dâl, yâ’, dan nûn. Bagaimanapun cara anda membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Seperti dain yang berarti utang, atau dîn yang berarti balasan dan kepatuhan, serta hubungan antara manusia di tempat rendah dengan Allah Yang Maha Tinggi. Dalam bahasa Semit berarti undang-undang atau hukum.
Adapun kata religi berasal dari bahasa latin menurut satu pendapat demikian Harun Nasution mengatakan, bahwa asal kata religi adalah relegre yang mengandung arti mengumpulkan dan membaca. Pengertian demikian itu juga sejarah dengan isi agama yang mengandung kumpulan cara-cara mengabdi kepada Tuhan yang berkumpul dalam kitab suci yang harus dibaca. Tetapi menurut pendapat lain, kata itu berasal dari kata religere yang berarti mengikat ajaran-ajaran agama memang mengikat manusia dengan Tuhan.
Para pakar mendefinisikan agama dalam berbagai macam pengertian sebut saja John Locke ( 1632-1704 M.), yang menyatakan bahwa “Agama bersifat khusus, pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi yang lain dariku, memberi aku petunjuk, jika jiwaku sendiri enggan menerima petunjuk itu.”
Memang, sebagian pakar telah berusaha menggambarkannya. “Agama adalah pengetahuan tentang Tuhan dan upaya meneladani-Nya,” kata Seneque (2-66 M). “Agama adalah pengabdian kemanusiaan,” kata Auguste Comte (1798-1857 M). “Agama adalah sekumpulan petunjuk Ilahi yang disampaikan melalui nabi/rasul untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan mengantar penganutnya meraih kebahagiaan dunia dan akhirat,” demikian tulis Mahmud Syaltut ( 1960 M). “Beragama adalah menjadikan semua kewajiban kita adalah perintah-perintah Tuhan yang suci dan harus dilaksanakan,” begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804 M).
Dari berbagai macam pengertian diatas maka, Quraish Shihab menyimpulkan bahwa agama adalah adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu kekuatan yang Maha Dahsyat, dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna, dan mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya. Pengabdian itu dilakukan baik karena takut maupun karena berharap memperoleh kasih-Nya yang khusus, atau bisa juga karena dorongan kagum dan cinta. Jika demikian, untuk bisa disebut “beragama”, maka paling tidak ada tiga hal yang harus terpenuhi.
Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu bersifat sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat suci, tetapi setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena atau tidur; saat ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.
Kedua: Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan tersebut, suatu hubungan yang terpantul dalam ketaatan melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangan-Nya
Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi balasan dan ganjaran sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya. Dengan kata lain, keyakinan ini merupakan cerminan kepercayaan tentang adanya hari pembalasan, hari kemudian.

B. KEBUTUHAN MANUSIA TERHADAP AGAMA
Fenomena-fenomena sosial yang dapat mempertahankan kehadirannya sepanjang masa, haruslah selaras dengan keinginan-keinginan atau kebutuhan manusia. Dengan kata lain, fenomena itu sendiri merupakan kebutuhan-kebutuhan manusia ataupun paling sedikit, sebagai lantaran (sarana) guna memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut. Dalam arti bahwa manusia, jauh di lubuk fitrahnya, mencari dan mendambakan fenomena seperti itu. Kalau tidak, yakni manusia tidak mendambakannya dalam lubuk fitrah dan nalurinya, dan hal itu tidak menjadi tujuan langsung kecenderungan-kecenderunganya, maka setidaknya-tidaknya ia merupakan sarana bagi pemenuhan fitrahnya yang mendasar. Kebutuhan manusia dapat di kelompokkan menjadi dua yaitu alamiah dan non alamiah. Kebutuhan alamiah atau fitriah ialah hal-hal yang di butuhkan manusia sebagai manusia yang tidak mungkin di tinggalkannya dan di lupakannya. Dan agamalah salah satu kebutuhan alamiah dan fitriah itu. Oleh sebab itu tak seorang manusiapun yang dapat menafikan, meniggalkan dan melupakan agama bahkan orang yang tak mengaku beragamapun masih mengaku adanya kekuatan "maha besar" yang lebih dari kekuatannya yang dapat mempengaruhi dirinya. Terus, siapa kekuatan "maha besar" itu selain Tuhan ?. Jadi, pada hakikatnya agama merupakan kebutuhan fitri dan emosional manusia, dan ia juga satu-satunya sarana untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan fitri manusia yang tak sesuatupun dapat menggantikan kedudukannya

1. Agama Sebagai Fitrah
Dalam pandangan Islam, keberagamaan adalah fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) Demikian dipahami dari firman Allah SWT dalam surat Al-Rum (30): 30.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah), (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tiada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Merujuk kepada fitrah yang dikemukakan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa manusia sejak asal kejadiannya, membawa potensi beragama yang lurus, dan dipahami oleh para ulama sebagai tauhid.
Dalam ayat lain dikemukakan, bahwa:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka, dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman), ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami menyaksikan’” (QS Al-A’raf [7]: 172).
Ini berarti manusia tidak dapat melepaskan diri dari agama. Pada hakikatnya pula, Manusia tidak secara fitri merupakan makhluk yang memiliki kemampuan untuk beragama. Hal ini sejalan pula dalam Hadits Rasulullah SAW yang menyatakan bahwa setiap anak yang dilahirkan memiliki fitrah (potensi beragama), maka kedua orang tuanyalah yang menjadikan anak tersebut Yahudi, Nashrani atu Majusi. Tuhan menciptakan demikian, karena agama merupakan kebutuhan hidupnya. Memang manusia dapat menangguhkannya sekian lama –boleh jadi sampai dengan menjelang kematiannya. Tetapi pada akhirnya, sebelum ruh meninggalkan jasad, ia akan merasakan kebutuhan itu .
Bukti bahwa manusia sebagai makhluk yang memiliki potensi beragama ini dapat dilihat melalui bukti historis dan antropologis. Manusia Primitif yang kepadanya tidak pernah datang informasi mengenal tuhan, ternyata mereka mempercayai adanya tuhan sekalipun terbatas daya khayalnya. Selanjutnya, keyakinan-keyakinan tersebut dikenal dengan istilah Dinamisme, Animisme, dan Politeisme lebih lanjut lihat Harun Nasution dalam Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya-, ini semua membuktikan bahwa manusia mempunyai potensi bertuhan.
Lebih lanjut, Murthada Muthahhari menyebutkan bahwa setidaknya ada 5 Hipotesis yang diajukan mengenai pertumbuhan agama pada manusia. Yaitu Agama produk rasa takut, Agama adalah produk kebodohan, agama sebagai motivasi keterikatan manusia dan pendambaannya kepada keadilandan keteraturan, dan Marxisme.
Kesimpulannya bahwa latar belakang perlunya manusia pada agama adalah karena dalam diri manusia sudah terdapat potensi untuk beragama. Potensi yang beragama ini memerlukan pembiasaan, pengarahan, pengambangan dan seterusnya dengan cara mengenalkan agama kepadanya. Dalam keadaan demikian, Islam mengenal adanya nabi dan rasul yang diutus kepada umat manusia untuk menginformasikan bahwa tuhan yang mereka cari itu adalah Allah, yakni Tuhan yang menciptakan dan wajib disembah. Dengan demikian sebutan Allah bagi tuhan bukanlah khayalan bagi manusia.

2. Kelemahan dan Kekurangan Manusia.
Faktor lainnya yang melatarbelakangi manusia memerlukan agama adalah karena disamping manusia memiliki berbagai kesempurnaan juga memiliki kekurangan. Walaupun manusia itu dianggap sebagai makhluk yang terhebat dan tertinggi dari segala makhluk yang ada di alam ini, akan tetapi mereka mempunyai kelemahan dan kekurangan karena terbatasnya kemampuan tersebut. Selanjutnya dikatakan bahwa manusia menjadi lemah karena di dalam dirinya ada hawa nafsu yang lebih cenderung mengajak kepada kejahatan, sesudah itu ada lagi iblis yang selalu berusaha menyesatkan manusia dari kebenaran dan kebaikan. Manusia hanya dapat melawan musuh-musuh ini hanya dengan senjata agama.
Allah menciptakan manusia dan berfirman “bahwa manusia itu telah diciptakan-nya dengan batas-batas tertentu dan dalam keadaan lemah. Dalam QS. Al-Qomar : 49.
“Sesungguhnya tiap-tiap sesuatu (terasuk manusia) telah kami ciptakan dengan ukuran (batas) tertentu”
Dalam literatur Teologi Islam kita jumpai pandangan kaum mu’tazilah yang rasionalis, karena banyak mendahuluka pendapat akal dalam memperkuat argumentasinya dari pada wahyu. Namun demikian mereka sepakat bahwa manusia dengan akalnya memiliki kelemahan. Akal memang mengetahui yang baik dan yang buruk tetapi tidak semua yang baik dan yang buruk dapat diketahui oleh akal. Dalam hubungan inilah,kaum mu’tazilah mewajibkan pada Tuhan agar menurunkan wahyu dengan tujuan agar kekurangan yang dimiliki akal dapat dilengkapi dengan informasi yang datang dari wahyu (agama). Dengan demikian, Mu’tazilah secara tidak langsung memandang bahwa manusia memerlukan wahyu.

Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan dirinya itu dan keluar dari kegagalan-kegagalan tersebut tidak ada jalan lain kecuali melalui petunjuk wahyu dan agama .

3. Tantangan Manusia
Faktor lain yang menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia adalah karena manusia adalah dalam kehidupan senantiasa menghadapi berbagai tantangan baik dari dalam maupun dari luar. Tantangan dari dalam dapat berupa dorongan dari hawa nafsu dan bisikan syetan sedangkan tantangan dari luar dapat berupa rekayasa dan upaya-upaya yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupa ingin memalingkan manusia dari Tuhan. Mereka dengan rela mengeluarkan biaya, tenaga, dan pikiran yang dimanipestasikan dalam berbagai bentuk kebudayaan yang didalamnya mengandung misi menjauhkan manusia dari Tuhan.
Orang-orang kafir itu sengaja mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk mereka gunakan agar orang mengikuti keinginannya, berbagai bentuk budaya, hiburan, obat-obatan terlarang dan sebagainya dibuat dengan sengaja. Untuk itu upaya untuk mengatasinya dan membentengi manusia adalah dengan mengejar mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan hidup demikian itu saat ini semakin meningkat sehingga upaya mengamankan masyarakat menjadi penting.

BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN
Agama adalah salah satu istilah dalam bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa sansekerta. Istilah ini terambil dari dua kata yaitu A dan GAM. A diartikan kesini, tidak dan GAM diartikan Gaan, go, gehen, berjalan-jalan. jadi tidak pergi, tetap ditempat, diwarisi turun-temurun. Agama memang mempunyai sifat yang demikian. Sehingga secara istilah Agama bisa disimpulkan sebagai Peraturan-peraturan Tradisional, ajaran-ajaran, dan kumpulan hukum-hukum.
Manusia dapat dikatakan beragama bila memenuhi tiga criteria sebagai berikut :
Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung, Yang mencipta dan mengatur alam raya. Kehadiran-Nya itu bersifat sinambung, bukan saja pada saat seseorang berada di tempat suci, tetapi setiap saat, baik ketika manusia sadar, maupun saat ia terlena atau tidur; saat ia hidup di dunia ini, maupun setelah kematiannya.
Kedua: Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan tersebut, suatu hubungan yang terpantul dalam ketaatan melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya, serta menjauhi larangan-Nya
Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi balasan dan ganjaran sempurna pada waktu yang ditentukan-Nya.
Kebutuhan Manusia terhadap agama dipengaruhi oleh beberapa factor yang diantaranya sebagai berikut : Agama sebagai Fitrah, Kelemahan dan kekurangan Manusia dan Tantangan Manusia.

SARAN
Sebagai Makhluk Allah SWT. kita harus menjunjung tinggi nilai agama yang telah diberikan-Nya kepada kita semua dan dengan adanya agama tersebut kita dapat menjalani kehidupan ini dengan semangat.

DAFTAR PUSTAKA
Daradjat Zakiah,Dr.,Ilmu Jiwa Agama,Bulan Bintang:Jakarta,1976
http://lists.topica.com
http://ikamaruram.byethost9.com
http://mufdil.wordpress.com

Download makalahnya disini gratis!!!

Klik iklannya untuk ucapan terima kasih!!! semoga bermanfaat!!!

0 komentar:

Posting Komentar


Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal


Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan. peluang usaha