Adsense Indonesiaadsads

Selasa, 28 September 2010

Sejarah Pembukuan Hadits

A. PENULISAN HADITS PADA MASA NABI
Hadits dan sunnah walaupun dia satu sumber yang penting pola dari sumber tasyari’, tidak ditulis secara resmi sebagaimana Al-Qur’an pada masa Rosulullah SAW. Adapun hadits dalam penulisannya ketika itu kurang memperoleh perhatian seperti halnya Al-Qur’an. Penulisan hadits dilakukan oleh beberapa sahabat secara tidak resmi, karena tidak diperintahkan oleh Rosul sebagaimana Beliau memerintah mereka untuk menulis Al-Qur’an, selain sebab diatas ada beberapa alasan yang penulisan hadits secara resmi pada masa itu yaitu :

• Mentaqwinkan ucapan-ucapan, amalan-amalan dan muamalah-muamalahnya adalah sangat sukar, karena memerlukan sekelompok orang yang selalu menyertai Nabi.
• Orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung dan sudah dikerahkan tenaganya untuk menulis Al-Qur’an.
• Karena dikawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an secara tidak sengaja. Karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits , beliau khawatir sabda-sabdanya bercampur dengan firman Allah.
Di balik larangan Rosul menuliskan hadits ternyata ditemukannya sejumlah sahabat yang memiliki catatan-catatan dan melakukan penulisan terhadap hadits Rosul diantaranya :
1. Abdullah bin Umar al-ash, ia memiliki catatan yang menurut pengakuannya dibenarkan oleh Rosul, sehingga diberi nama Al-Sahifah al Shadiqah.
2. Jabir bin Abdillah ibn Amr al-Anshari, ia memiliki catatan hadits dari Rosul tentang manasik haji. Hadits-haditsnya kemudian diriwayatkan oleh Muslim, catatannya terkenal dengan Sahifah Jabir.
3. Abu Huairah Al-Dausi, ia memiliki catatan hadits yang dikenal dengan Al-Sahifah al sahifah
4. Abu Syah seorang penduduk Yaman. Ia meminta kepada Rosul dicatatkan hadits yang disampaikannya ketika pidato dapa peristiwa futuh makkah sehubungan dengan terjadinya pembunuhan yang dilakukan oleh sahabat dari Bani Khuza’ah terhadap salah seorang lelaki Bani Lais.
Sebagian sahabat menyatakan keberatannya terhadap pekerjaan yang dilakukan Abdullah bin Amr bin ash tersebut dengan alasan bahwa Rosulullah telah bersabda :
لا تكتبوا عنى غير القران ومن كتب عنى غير القران فليمحه (رواه مسلم)
“Janganlah kamu tulis apa-apa yang kamu dengar dari aku selain Al-Qur’an. Dan barang siapa yang telah menulis sesuatu dariku selain Al-Qur’an hendaklah dihapuskan”
Mendengar ucapan mereka kemudian Abdullah bertanya kepada Rosul kemudian Rosul bersabda :
اكتب عنى فو الذى نفسي بيده ماخرج من فمى الاحق.
“Tulislah apa yang kamu dengar dariku, demi Tuhan yang jiwaku di tangannya, tidak keluar dari mulutku, selain kebenaran”
Dari kedua hadits diatas dapat diambil kesimpulan bahwa larangan menulis hadits dimansukh dengan hadits yang member izin yang datang kemudian, Mereka memahami hadits Rosulullah di atas bahwa larangan Nabi menulis hadits adalah ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-Qur’an, sedangkan izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukan Hadits dengan Al-Qur’an. Oleh karena itu setelah Al-Qur’an ditulis dengan sempurna maka tidak ada larangan untuk menulis hadits.

B. SPESIFIKASI HADITS
Bahwa pembukuan hadits itu terjadi sekitar abad ke-2 hijriyah yang dilakukan para pemuka hadits dalam rangka menghimpun dan membukukannya semata-mata didorong oleh kemauan yang berat agar hadits Nabi tidak hilang bersamaan para penghafalnya. Mereka menghimpun semua hadits beserta riwayat dan sanadnya masing-masing tanpa mengadakan penelitian terlebih dahulu terhadap pembawanya(perawi). Barulah di sekitar pertengahan abad ke-3 Hijriyah sebagian Muhaddsin merintis ilmu ini dalam garis-garis besarnya saja dan masih berserakan dalam beberapa mushafnya. Diantaranya mereka adalah Ali bin Al-Madani, Imam Al-Bukhari, Imam Muslim, Imam At-Turmidzi dan lain-lain.
Dalam pembukuan hadits ini tidak mempersoalkan tentang materi dari suatu hadits yang dating dari Rosul, namun karena hadits itu belum ditulis dan dibukukan sejak masa hayat Nabi Muhammad sebagaimana Al-Qur’an, maka kebenaran dan keasliannya sangat mungkin dipengaruhi oleh keadaan dan sifat seseorang yang membawanya dan meriwayatkannya. Secara singkat bahwa pokok-pokok pembahasan ilmu Mustalahul Hadits berkisar pada :
1. Macam-macam hadits dan pembagiannya
2. Nama-nama perawi dan segala sesuatunya yang berhubungan dengan nama-nama itu.
3. Cara-cara menerima dan meriwayatkan hadits

C. PEMERINTAHAN KHALIFAH UMAR BIN ABDUL AZIS
Kepala negara yang secara resmi memerintahkan untuk penghimpunan hadits Nabi adalah Khalifah Umar bin Abdul Azis. Motif utama yang menggerakkan hati Khalifah Umar bin Abdul Azis berinisiatif menghimpun Hadits dalam bentuk tulisan adalah :
1. Kemauan yang kuat untuk tidak membiarkan Hadits Nabi seperti pada masa yang terahulu.
2. Kemauan yang kuat untuk membersihkan dan memelihara Hadits dari hadits-hadits maudu’ buatan orang-orang yang bertujuan untuk merobohkan umat islam.
3. Kalau pada masa Nabi dan Khulafaur Rasidin tidak diperbolehkan menulis Hadits dikarenakan akan bercampur dengan Al-Qur’an, maka alasan tersebut sudah tidak berlaku karena Al-Qur’an sudah terhimpun dalam mushaf.
Untuk memlihara Hadits dari percampuran dengan hadits-hadits maudu’ dan menghilangkan kekhawatiran akan hilang dan lenyapnya Hadits dari muka bumi maka beliau mengintruksikan kepada seluruh gubernur dan pejabat-pejabat dan para ulama yang memegang kekuasaan diwiyahnya masing-masing. Inturksi tersebut antara lain berbunyi :
انظر حدبث رسول الله عليه وسلم فاجمعوا (رواه ابونعيم)
“Telitilah hadits Rosulullah SAW kemudian kumpulkan” (HR. Abu Nu’aim)
Dan beliau juga memberikan intruksi kepada walikota madinah, Abu Bakar Muhammad bin Muhammad bin Hazm untuk menulis dan mengumpulkan Hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita yang bernama Amrah binti Abdur Rahman, inruksinya :
اكتب الى بما ثبت عندك من حديث رسول الله صلى الله عليه وسلم بحديث عمرة فانى خشيت دروس العلم وذهاب العلماء.
“Tulislah untukku, hadits Rosulullah yang ada padamu dan Hadits yang ada pada amrah (binti Abdur Rahman), sebab aku takut akan hilangnya ilmu dan lenyapnya ulama’.”(HR. Ad-Damiri)
Intruksi yang sama juga dikirimkan kepada Abu bakar Muhammad Ibnu Muslim Ubaidah bin Syihab Az-Zuhri. Setelah menerima intruksi tersebut maka keduanya segera melaksanakan pengumpulan dan penulisan sebagaimana yang dikehendaki Khalifah Umar bin Abdul Azis. Dari sebab inilah, maka Ibnu Syihab dikenal sebagai penulis hadits yang pertama atas perintah Khalifah Umar bin Abdul Azis dan begitulah anggapan para ahli tarkh dan ulama pada saat itu.
Sebelum dikeluarkannya surat perintah tersebut ternyata sudah banyak orang yang telah mencatat hadits, namun bukan atas perintah resmi dari kepala negara. Di samping itu berbagai hadits Nabi yang tersebar dalam masyarakat belum terhimpun secara tertulis akan tetapi masih dalam hafalan, yang merupakan salah satu tradisi yang dijunjung tinggi dalam memelihara dan pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan proses dan waktu yang panjang akhirnya seluruh hadits Nabi berhasil dihimpun dalam kitab-kitab hadits. Yang terhimpun dalam berbagai kitab hadits itu tidak hanya matan haditsnya saya, tetapi juga rangkaian para periwayat yang menyampaikan pada penghimpunan materi hadits. Dengan demikian, hadits yang terhimpun materinya dan rangkaian para periwayatnya.

D. PENGUMPULAN HADITS PADA MASA SELEKSI
1. Masa Penyaringan Hadits
Masa seleksi atau penyaringan hadits terjadi ketika pemerintahan dipegang oleh Dinasti Bani Abbas, khususnya sejak masa Al-Makmun sampai dengan Al-Muktadir (sekitar tahun 201-300 H).
Munculnya periode seleksi ini karena pada periode sebelumnya, yakni periode tadwin, belum berhasil memisahkan beberapa hadits mauquf dan maqthu’ dari hadits marfu’. Begitu pula belum bias memisahkan beberapa hadits yang dhoif dan yang shohih. Bahkan masih ada hadits yang maudhu’ bercampur pada yang shohih.
Pada masa ini para ulama bersungguh-sungguh mengadakan penyaringan hadits yang diterimanya. Melalui kaidah-kaidah yang ditetapkannya, para ulama pada masa itu berhasil memisahkan hadits-hadits yang dha’if (lemah) dari yang shahih dan hadits-hadits yang mauquf (periwayatannya berhenti pada sahabat) dan yang maqthu’ (terputus) dari yang marfu’ (sanadnya sampai Nabi SW.), meskipun berdasarkan penelitian berikutnya masih ditemukan terselipnya hadits yang dha’if pada kitab-kitab shahih karya mereka.

Kitab Al-Shitah: Enam kitab Hadits Induk
Berkat keuletan dan keseriusan para ulama masa itu, maka bermunculanlah kitab-kitab hadits yang memuat hadits-hadits shahih, kitab tersebut yang kemudian dikenal dengan sebutan Kutub Al-Sittah (enam kitab induk).
Ulama yang berhasil menyusun kitab tersebut adalah Abu Abdillah Muhammad ibn Isma’il ibn Ibrahim Al-Mughirah ibn Bardizbah Al Bukhari yang lebih dikenal dengan Imam Bukhari dengan kitabnya “Al-Jami’Al-Shahih”. Kemudian Abu Husain Muslim ibn Al-Hijjaj Al-Kusairi Al-Naisaburi, yang lebih dikenal dengan sebutan Imam Muslim dengan kitabnya ”Al-Jami’ Al-Shahih”. Dan masih ada empat karya dari ulama lain dengan kitabnya yang lebih dikenal dengan sebutan “Sunan”, yang menurut ulama kualitasnya masih di bawah karya Imam Bukhari dan Imam Muslim.
Secara lengkapnya kitab-kitab yang enam di atas, diurutkan sebagai berikut :
1) Al-Jami Al-Shahih karya Imam Bukhari;
2) Al-Jami Al-Shahih karya Imam Muslim;
3) Al-Sunan karya Abi Daud;
4) Al-Sunan karya Al-Tirmidzi;
5) Al-Sunan karya Al-Nasa’i dan;
6) Al-Sunan karya Ibnu Majah.
2. Periode Penyaringan Al-Hadits dari Fatwa-Fatwa (abad ke III)
a. Perintisnya
Di permulaan abad ketiga para ahli hadits berusaha menyisihkan hadits dari fatwa-fatwa shahabat dan tabi’in, mereka berusaha membukukan hadits Rosulullah semata-mata. Untuk tujuan yang mulia ini merekamulai menyusun kitab-kitab Musnad yang bersih dari fatwa-fatwa. Ulama-ulama tersebut seperti : Musa Al-‘Abbasy, Musaddad Al-Bashry, Asad bin Musa dan nu’aim bin Hammad Al-Khaza’iy menyusun kitab-kitab Musnad. Kendatinya kitab-kitab hadits permulaan abad ketiga ini sudah menyisihkan dari fatwa-fatwa, namun masih mempunyai kelemahan, yaitu tidak atau belum menyisihkan hadits-hadits dha’if dan maudhu’ yang diselundupkan oleh golongan-golongan yang bermaksud menodai agama islam.
Karena adanya kelemahan pada kitab-kitab hadits tersebut, maka bergeraklah ulama-ulama ahli hadits untuk menyelamatkannya. Mereka membuat qaidah-qaidah dan syarat-syarat untuk menemukan suatu hadits itu shahih atau dha’if.

b. Pendewanan-Pendewanan Hadits semata-mata dan Kitab-Kitabnya
Pendewanan-pendewanan Hadits Shahih semata-mata pada pertengahan abad ketiga dapat dikemukakan :
1) Muhammad bin Isma’il Al bukhari denga kitab haditsnya tyang terkenal Shahihu-Bukhari atau Al-Jami’ush-Shahih. Menurut penelitian Ibnu hajar kitab shahih itu berisi 8.122 hadits yang terdiri dari 6.397 hadits asli dan haditsnya terulang-ulang, 1.341 hadits mu’allaq (dibuang sanadnya sebagian atau seluruhnya) dan 384 hadits mutabi’ (mempunyai sanad yang lain)
2) Imam Muslim bin Hajjaj bin Muslim Al-Qusyairy dengan kitabnya Shahihul Muslim atau Al-Jami’ush-Shahih. Kitab tersebut berisi hadits sebanyak 7.273 hadits, termauk hadits yang terulang-ulang, jika tanpa hadits yang terulang-ulang hanya berjumlah 4.000 hadits. Muncul pula pada abad ketiga ini kitab-kitab Sunan (yang mencakup seluruh hadits, kecuali hadits yang sangat dha’if dan munkar), seperti Sunan Abu Daud, Sunan At-Turmudzy, Sunan Nasa’I dan Sunan Ibnu Majah.


BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Dari uraian di atas maka dapat kita simpulkan, sebagai berikut :
1. Pada masa Nabi SAW. penulisan hadits tidak diperbolehkan dengan alasan :
• Mentaqwinkan ucapan-ucapan, amalan-amalan dan muamalah-muamalahnya adalah sangat sukar, karena memerlukan sekelompok orang yang selalu menyertai Nabi.
• Orang-orang yang dapat menulis pada masa itu masih dapat dihitung dan sudah dikerahkan tenaganya untuk menulis Al-Qur’an.
• Karena dikawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an secara tidak sengaja. Karena itu Nabi SAW melarang mereka menulis hadits , beliau khawatir sabda-sabdanya bercampur dengan firman Allah.
2. Tujuan pembukuan hadits pada masa itu adalah agar hadits Nabi tidak hilang bersamaan para penghafalnya.
3. Pemerintahan yang pertama kali memberikan perintah pembukuan atau pengumpulan hadits adalah masa pemerintahan Umar bin Abdul Azis.
4. Masa seleksi hadits terjadi pada masa dinasti Bani Abbas, diantara perintisnya adalah
 Musa Al-Abbasy
 Musaddad Al-Bashry
 Ahmad bin Hambal
5. Hadits pada masa seleksi terjadi disebabkan adanya periode tadein yang belum berhasil memishkan hadits mauquf dan maqthu’ dari hadits marfu’, begitu pula memisahkna hadits dha’if dari hadits shohih. Dalam masa ini diantara buktinya adalah Kutubus-sittah (enam kitab hadits induk).

DOwnload makalahnya disini

Klik iklannya untuk ucapan terima kasih!!! semoga bermanfaat!!!

2 komentar:

Muktadir Husain mengatakan...

Design here is beautiful

Muktadir Husain mengatakan...

Design here is beautiful

Posting Komentar


Komisi Gratis | Bisnis Online Tanpa Modal


Daftar di PayPal, lalu mulai terima pembayaran menggunakan kartu kredit secara instan. peluang usaha